Jeneponto — Pemberhentian Kepala Dusun di Desa Borongtala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, memantik perhatian publik dan memicu sorotan tajam dari Dewan Pimpinan Nasional Federasi Advokat Muda Indonesia (DPN FAMI). Keputusan yang diambil Kepala Desa Borongtala itu dinilai janggal, sarat kejanggalan prosedur, dan berpotensi melanggar hukum.
Presiden DPN FAMI, Ofi Sasmita, menyatakan pihaknya menyesalkan tindakan Kepala Desa yang memberhentikan perangkat desa secara sepihak tanpa memenuhi mekanisme hukum yang berlaku. Menurutnya, jabatan perangkat desa, termasuk Kepala Dusun, dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak bisa dicopot secara sewenang-wenang.
“Pemberhentian perangkat desa, apalagi kepala dusun, harus dilakukan dengan dasar hukum yang kuat. Jika keputusan diambil tanpa prosedur yang benar, itu bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan pelanggaran hukum yang merugikan hak orang,” tegas Ofi Sasmita, Jumat (15/8/2025).
Isu yang berkembang di lapangan membuat kasus ini semakin panas. Vice Presiden DPN FAMI, Adv. Sulkipani Thamrin, mengungkapkan adanya dugaan intervensi langsung dari Bupati Jeneponto, H. Paris Yasir dalam pergantian Kepala Dusun tersebut.
Sulkipani menegaskan, mekanisme pemberhentian perangkat desa sudah diatur tegas dalam Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa. Menurut aturan tersebut, Kepala Dusun hanya dapat diberhentikan oleh Kepala Desa dengan persetujuan Bupati/Wali Kota melalui Camat dan hanya karena alasan yang sah: meninggal dunia, mengundurkan diri, mencapai usia 60 tahun, tidak lagi memenuhi syarat, melanggar larangan perangkat desa, atau tidak melaksanakan tugas dengan baik.
Ia menjelaskan, prosedur pemberhentian dimulai dari evaluasi kinerja atau pemeriksaan dugaan pelanggaran oleh Kepala Desa. Selanjutnya, Kepala Desa menyampaikan usulan tertulis kepada Camat, yang kemudian memberikan rekomendasi kepada Bupati/Wali Kota. Setelah ada persetujuan resmi, barulah Kepala Desa menerbitkan SK pemberhentian dan melaporkannya kembali kepada Bupati/Wali Kota melalui Camat.
“Kalau tahapan ini diabaikan, apalagi jika keputusan diambil karena tekanan atau permintaan politik, maka itu jelas bentuk penyalahgunaan wewenang,” tegas Sulkipani.
DPN FAMI memastikan akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka juga menyiapkan langkah hukum jika ditemukan bukti adanya pelanggaran prosedur dan intervensi politik.
Kasus ini tidak hanya menjadi perbincangan di kalangan pemerhati hukum, tetapi juga memicu reaksi warga di Jeneponto yang mempertanyakan transparansi dan integritas pemerintah desa maupun kabupaten. Bagi DPN FAMI, kasus Borongtala bisa menjadi preseden buruk jika dibiarkan tanpa penegakan hukum yang tegas.
“Kami mengingatkan semua kepala desa di Indonesia, jangan sekali-kali mengabaikan aturan demi kepentingan kelompok atau tekanan politik. Hukum adalah rambu yang wajib dipatuhi, bukan pilihan,” tutup Ofi Sasmita.
Dengan berkembangnya isu keterlibatan pejabat tinggi daerah, publik menunggu apakah aparat terkait akan melakukan klarifikasi dan investigasi, atau justru membiarkan dugaan pelanggaran ini tenggelam di tengah hiruk pikuk politik lokal. Tim