Ketika Advokat Dikriminalisasi: “Hari Itu Saya Tak Lagi Hanya Membela, Tapi Dibidik”

MAKASSAR – Pada suatu pagi yang tenang di tanggal 3 Juli 2025, di tengah rutinitas yang biasa, sebuah amplop putih datang menghampiri kediaman Wawan Nur Rewa. Isinya: Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Nama Wawan tertera di dalamnya. Status: Terlapor.

Bagi masyarakat biasa, mungkin itu sekadar surat dari kepolisian. Tapi bagi seorang advokat, surat itu bisa berarti satu hal: kebebasan profesi sedang di ujung tanduk.

“Saya belum pernah diperiksa sebagai terlapor. Belum dimintai klarifikasi secara lengkap. Tapi tiba-tiba dinyatakan penyidikan. Saya benar-benar terkejut,” ucap Wawan lirih, mengenang momen itu.

Yang membuatnya terpukul bukan sekadar status penyidikan. Tapi kecepatan proses hukum yang tidak biasa. Bahkan, menurutnya, lebih cepat dari respons laporan masyarakat kecil yang sering kali mengendap berbulan, bahkan bertahun-tahun tanpa kepastian.

Laporan terhadap dirinya bersumber dari pernyataan hukum yang ia sampaikan ke media — sebagai bagian dari pembelaannya terhadap klien, ahli waris tanah yang saat ini di atasnya berdiri bangunan megah: AAS Building, di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar.

Pernyataannya itu dianggap mencemarkan nama baik seorang tokoh nasional, Andi Amran Sulaiman (AAS), yang disebut-sebut sebagai pihak yang berkepentingan dengan gedung tersebut. Melalui kuasa hukumnya berinisial AB, laporan awal dimasukkan ke Polrestabes Makassar sejak 17 April 2025. Tapi semua berubah hanya dalam satu hari, tepat di 27 Juni 2025, ketika laporan itu berubah status menjadi penyidikan.


Satu Hari, Tiga Surat, Satu Nama yang Ditekan

Laporan Informasi Nomor: LI/510/IV/RES.1.14/2025/Reskrim.
Laporan Polisi Nomor: LP/1125/IV/2025/Polda Sulsel/Restabes Mks.
Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP-Sidik/270/VI/Res.1.24/2025/Reskrim.
SPDP Nomor: SPDP/283/VI/Res.1.24/2025/Reskrim.

Keempat dokumen ini ditandatangani pada hari yang sama. Bahkan pada hari libur nasional: 1 Muharram 1447 H.

“Saya tidak menyangka, bahkan saat negara libur, surat-surat itu tetap keluar. Ini bukan tentang saya pribadi. Ini tentang profesi advokat secara menyeluruh. Tentang siapa yang masih bisa membela jika pembela pun bisa dibungkam,” tegas Wawan.


Solidaritas Muncul: “Hari Ini Wawan, Besok Kita”

Reaksi dari rekan-rekan sejawat tak terbendung. Puluhan advokat di Sulawesi Selatan turun ke jalan. Mereka membentuk Koalisi Advokat Sulsel, menyuarakan satu hal: hentikan kriminalisasi terhadap advokat.

Aksi ini bukan sekadar demonstrasi. Ia adalah teriakan profesi yang selama ini menjaga ruang demokrasi dari balik meja pengadilan. Advokat, dalam kacamata konstitusi dan UU Nomor 18 Tahun 2003, memiliki hak imunitas ketika menjalankan tugas membela klien.

“Kalau ini dibiarkan, setiap advokat yang bicara di media akan dikriminalisasi. Padahal tugas kami jelas: membela hak-hak warga negara,” ujar salah satu advokat yang ikut dalam aksi.


Narasi yang Lebih Dalam: Tentang Keadilan yang Bisa Dibeli Waktunya

Kasus Wawan Nur Rewa menunjukkan betapa kecepatan hukum ternyata bisa terjadi — jika subjek dan objek laporannya memiliki pengaruh tertentu. Namun yang lebih menyakitkan, adalah ketika masyarakat biasa, pencari keadilan, justru menanti nasibnya berbulan bahkan bertahun tanpa kejelasan.

“Saya hanya berharap semangat ekspres penanganan laporan ini juga diberikan untuk kasus-kasus masyarakat miskin yang tak punya nama,” sindir Wawan.


Penutup: Ketika Advokat Tak Lagi Kebal Saat Membela

Hingga berita ini dirilis, Polrestabes Makassar belum memberikan keterangan resmi. Pihak AAS juga belum mengeluarkan tanggapan. Namun satu hal yang jelas, kasus ini telah menggerakkan gelombang solidaritas profesi hukum, dan membuka luka lama: perlindungan hukum yang tidak setara.

Apakah ini akan menjadi titik balik perjuangan advokat Indonesia untuk memperjuangkan imunitas yang semakin dikebiri? Atau justru menjadi preseden buruk atas praktik kriminalisasi yang sistematis?

Kita semua masih menunggu  bukan hanya klarifikasi, tapi keadilan.

Related posts